Catatan Seorang Perawat

Maka nikmat Alloh manakah yang akan kau dustakan?

Jumat, 12 November 2010

Nur Aini Rakhmawati, Srikandi di Dunia Teknologi Informasi

Dunia jaringan komputer identik dengan laki-laki. Namun, itu dipatahkan Nur Aini Rakhmawati, S.Kom, M.Sc.Eng yang menjadi perempuan pertama di dunia yang bergabung dengan Joomla! Development Working Group. “Sempat juga ada laki-laki yang iseng, tapi teman-teman di Joomla berjanji akan membela saya mati-matian jika ada yang menggangu”, kenangnya diikuti tawa yang renyah.
Di tengah dominasi kaum Adam, sosok mungil Iin muncul dan membuat semua orang terkaget-kaget. Ia hadir dengan pakaian muslimahnya hingga membuat koordinator acara Joomla turun langsung. Mereka ingin tahu siapa Iin dan apa program yang dibuatnya. Joomla adalah sistem manajemen konten yang bebas dan terbuka (opensource) dan dikenal sebagai program nomor satu di dunia untuk PHP (Personal Home Page).

Perempuan yang gemar membaca sejarah ini awalnya pesimis akan diterima di Joomla. Sebab, sehari sebelum hari H ia baru mengerjakan projek proposal untuk ia daftarkan ke Joomla. Tapi nasib berkata lain, ternyata program Iin tentang solusi negara miskin dengan bandwdith rendah untuk mem-posting berita dengan cepat melalui email, membuat sejumlah mentor Joomla jatuh hati. Iin langsung diminta bergabung dalam Google Summer of Code 2007. Dari 6000 labih pendaftar, ia termasuk 900 orang yang diterima. Dari 900 orang tersebut, Iin adalah satu dari dari hanya dua persen peserta perempuan dari seluruh dunia serta satu-satunya peserta perempuan Joomla!
Dengan nilai yang memuaskan di peringkat kedua, ia diminta menjadi Joomla Developer oleh Joomla Coordinator dunia, Wilco Jassen. Padahal untuk menjadi Joomla Developer harus melalui seleksi ketat serta meiliki latar belakang kontribusi terhadap Joomla, sementara Iin merasa masih sangat baru dalam proyek ini. Namun, kesempatan ini tidak ia sia-sia. “Meski tidak mendapat bayaran, yang penting saya bisa jalan-jalan dan menyalurkan ilmu”, aku perempuan yang menguasai bahasa Inggris, Cina dan Jepang itu. Di tahun 2008, Iin kembali berpartisipasi di Google Summer of Code sebagai mentor peserta dari Vietnam.
Itu sepotong cerita dari Iin, sapaan akrab perempuan yang kini tengah menyelesaikan studi doktoralnya di Digital Enterprise Research Institute (DERI), Irlandia. Bagi pecinta dunia virtual, nama Iin sudah tidak asing lagi. Pendiri Kluwek (Kelompok Linux Cewek Indonesia) dan Wanita Debian Indonesia sebagai wadah bagi perempuan Indonesia untuk berkarya dalam bidang TI ini memang banyak menghabiskan waktu untuk membuat program komputer. Bagaimana perempuan 28 tahun ini bergelut di dunia teknologi informasi (TI)?

Surabaya, Taiwan to Irlandia
Dosen Sistem Informasi ITS ini memulai karirnya di bidang TI sejak SMP. Meskimenempuh pendidikan umum, ia kerap kali mencuri waktu untuk mengutak-utik komputer. Tak heran, itu menjadi hobinya hingga kini.
Setelah lulus ITS, Iin muda berangan-angan menjadi seorang administrator jaringan komputer (admin) yang bergaji tinggi sehingga menyenangkan kedua orang tuanya. Namun ia malah memilih mengabdikan diri di kampusnya. “Kalau di perusahaan, ilmu itu cuma buat kita sendiri tapi kalau mengajar itu bisa buat orang se-Indonesia bahkan dunia”, ungkap Iin dengan logat Jawa Timur yang kental.
Ia lalu mencoba beberapa peruntungan untuk studi S2. Jepang dan Australia sudah lebih dahulu menawarinya. Namun, akhirnya ia ‘terdampar’ di Taiwan. Ibu satu putri ini sangat bersyukur bisa mendapatkan beasiswa di Taiwan. Karena di negara yang terkenal dengan sebutan negeri formosa ini, ia bisa menjadi trainer komputer para TKW di mesjid Taipei dan membantu Grand Mosque, Taiwan untuk berkomunikasi dengan para TKI di penjara Ylan, Taiwan.
Rampung dengan gelar master dari Nationsl Taiwan University of Science and Technology, Taipei, Taiwan, Iin mendapat tawaran beasiswa untuk melanjutkan kuliah S3. Tak tanggung-tanggung Irlandia, Jepang, dan Jerman memperebutkannya. Akhirnya, Iin memilih Irlandia karena universitas yang dituju adalah pusat semantik web, cocok dengan tema disertasi yang akan diambilnya.
Sebelum terbang ke negeri yang memiliki banyak gunung, sungai dan danau itu, Iin menemukan jodohnya. Forum Mahasiswa Muslim Indonesia (FORMMIT) di Taiwan yang menjadi jembatannya. “Sewaktu Muktamar di Taiwan Tengah, saat itu sekedar tahu yang namany Yordan Gunawan, tapi tidak ada rasa apa-apa. Apalagi sampai kepikiran nikah”. Tak dinanya, Yordan Gunawan, yang juga sedang menyelesaikan Master di Taiwan Selatan jatuh hati padanya. Pemuda itu pun mencari informasi tentang Iin yang kuliah di Taiwan Utara. Yordan kemudian menyeberang untuk berta’aruf dengan Iin. Januari 2009 lalu dua sejoli ini mengikat janji suci di tanah air.
Suka Duka Hamil di Negeri Orang
Ketika berangkat ke Irlandia, kandungan Iin memasuki usia lima bulan. Kehamilannya ini sempat membuat ia tersandung masalah imigrasi di kota transit, Singapura. Pihak imigrasi tidak mengizinkan Iin meneruskan perjalanan ke London. Ia bahkan diancam dikembalikan ke Indonesia. Alasannya, mereka khawatir Iin akan melahirkan di sana. Iapun melobi petugas yang kebetulanberasal dari Cina itu, “Setelah ngobrol pake bahasa Cina baru saya boleh melanjutkan perjalanan”, ujarnya.
Pada awal kuliah, Iin tak menemui kesulitan yang berarti dengan kondisinya yang berbadan dua. Teman-temannyapun mengerti keadaannya dan tak segan untuk membantu.
Menjelang usia kehamilan delapan bulan, Iin harus rela masuk UGD karena tubuhnya lemah dan kekurangan zat besi. Jelas saja, makanan halal dan baik dikonsumsi ibu hamilsukar ia dapatkan.
Iapun meminta izin profesornya untuk pulang ke Indonesia. “Tidak ada suami, tidak ada siapa-siapa, saya takut juga kalau melahirkan di sana. Ini kan pengalaman hamil pertama saya”, papar Iin. Alhamdulillah, sang profesor pun menyetujui dengan catatan Iin harus mengerjakan semua tugas-tugasnya meski tidak hadir di kelas.
Setelah menempuh perjalanan panjang, bahkan sempat pingsan di Bandara Heathrow, London dan hampir tidak bisa pulang ke tanah air, Iin pun tiba dengan selamat di kediamannya di Sleman, Yogyakarta. Pada November 2009, Syifa Aisha Keyrani Gunawan, putri pertamanya lahir.
Tinggal di negeri orang sangat menarik bagi peneliti muda. Di Taiwan contohnya, banyak orang yang menyangka ia berasal dari India karena ada kemiripan pakaian. Dengan lugas Iin menjelaskan perbedaan sari dengan busana muslimah.
Lain taiwan lain Irlandia. Kebanyakan orang Eropa acuh tak acuh sehingga tidak terlalu ‘meributkan’ pakaian muslimah yang Iin kenakan. Namun, ia justru merasakan jalinan ukhuwah yang harmonis di sana. “Teman-teman saya yang berasal dari multicountry inilahyang membantu saya dalam semua aktifitas”, ungkap anggota Linuxchix, kelompok perempuan Linux Internasional itu.
Uwong Kuwi Kudu Soko Ngisor
Itulah pesan orang tua yang masih diingat perempua yang memiliki motto hidup bermanfaat bagi banyak orang ini. Walaupun berasal dari keluarga berkecukupan, sang ayah mendidik anak-anaknya dengan ungkapan ‘orang itu harus mulai segala sesuatu dari bawah’. “Kalau bapak mau ngasih bisa, tapi kita disuruh berusaha dulu baru minta bantuan”, kenang Iin.
Hal ini dibuktikan iin dengan membuat dan menjual sendiri komputer rakitan. Kisahnya bermula ketika ayahnya pensiun ketika ia lulus SMU. Kala itu, Iin tak mungkin meminta uang lebih karena kakak-kakaknya juga membutuhkan biaya kuliah, terlebih dua diantaranya mengambil fakultas kedokteran, jelas membutuhkan biaya tak sedikit. Akhirnya, bermodal nekat, ia membeli beberapa komponen komputer lalu ia rakit sendiridan dijual ke teman-temannya. Dari hasil penjualan komputer hasil rakitannya itulah ia bisa membeli komputer untuk mendukung studinya.
Dahulu, ayah dan ibunya tak pernah menyuruhnya belajar terlalu keras. Bahkan cencerung membebaskan bermain sepuasnya. Kesukaannya adalah layang-layang dan bermain di sawah. Namun mereka akan sangat ketat jika menyangkut nonton TV dan sholat. “Biasanya saat subuh, sebelum adzan kita dibangunkan ibu, setelah itu tak boleh tidur lagi. Kalau tidak sholat pasti dimarahi”, ujar pengagum Yusuf Qhardawi itu.
Selain ayah dan ibunnya, bungsu dari lima bersaudara ini juga sangat dekat dengan kakek dan neneknya. Ini lantaran Iin kecil sempat diasuh oleh kakek dan neneknya yang merasa kesepian. Alhasil, orang tuanya harus bolak-balik Klaten-Pasuruan.
“Kata kakek, kalau ada petir itu berarti sedang ada orang yang disiksa di kubur karena tidak sholat”, kenangnya sambil tertawa. Ia pun rajin sholat berjamaah bersama kakeknya.
Perempuan dengan segudang prestasi itu memendam cita-cita memasyarakatkan program komputer opensource. Bukan karena sifatnya yang gratis, tetapi lebih kepada kemudahan mempelajarinya, terutama bagi perempuan. “Ini akan membuat orang Indonesia mandiri dengan mengenal dan mengantisipasi virus dan program mata-mata dari luar”, pungkasnya.
blog beliau bisa kita lihat di http://ai23.wordpress.com/
Sumber: Majalah Wanita UMMI, No.11/XXII/Mei 2010/1431H

0 komentar:

Posting Komentar

.